Oleh
: Dina Dermawan
Orde Reformasi yang kita
alami banyak sekali membawa perubahan yang cukup besar sekali dan banyak
manfaatnya. Namun tidak sedikit pendapat, orde reformasi dianggap tidak ada
baiknya, malahan menimbulkan biaya tinggi, seperti : biaya sekolah makin
tinggi, masuk kerja harus menyuap, dan tingkat korupsi makin tinggi. Dulu jaman
orde baru, korupsi katanya hanya sampai tingkat kabupaten, sekarang sampai
tingkat desa. Itulah gambaran perbedaan persepsi orang tentang reformasi. Tapi
yang jelas perbedaan itu ditimbulkan oleh adanya perbedaan kepentingan/kebutuhan
individu/pribadi.
Tulisan
ini, tidak akan membahas pro kontra seperti alinea diatas, tetapi saya mengajak
anda untuk memahami dari sudut pandang peraturan, perundangan hukum saja. Salah
satu produk hukum di jaman orde reformasi adalah UU No 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah. Tepatnya pada bagian keenam diatur tentang kerjasama
antar desa. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan PP 72 dan 73 tahun 2005
tentang Desa dan Kelurahan (bab kerjasama antar desa). Dari UU dan PP tersebut,
pemerintah dipandang perlu dapat membentuk badan kerjasama antar desa.
Pembentukan kerjasama antar desa ini, tidak bersifat otomatis tetapi tergantung
pada kebutuhan/kepentingan bersama antar desa. Jika dianggap ada
kepentingan/kebutuhan bersama antar desa, maka desa-desa tersebut dapat
membentuk Badan Kerjasama antar Desa (BKAD) yang diatur oleh keputusan bersama,
yang disetujui BPD dan dilaporkan kepada Bupati melalui Camat (Pasal 214
ayat 1 - UU 32 tahun 2004).
Kerjasama antar Desa
tersebut harus sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Dalam Pasal
83 (2) PP 72 Tahun 2005 tentang Desa, bidang-bidang yang
dikerjasamakan adalah : Peningkatan perekonomian masyarakat desa,
Peningkatan pelayananan pendidikan, Kesehatan, Sosial budaya, Ketentraman dan
ketertiban; dan / atau Pemanfaatan sumberdaya alam dan teknologi tepat guna
dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.
Dihubungkan dengan kabupaten Purwakarta, yang kita cintai, pembentukan BKAD ini
belum ada tindaklanjutnya (bahasa halusnya “terabaikan”)
dari UU 32 Tahun 2004 dan PP 72 Tahun 2005 tentang “Desa”. Di beberapa
kabupaten yang sudah ada tindaklanjutnya, biasanya dibentuk Perda tentang Badan
kerjasama antar desa, sebagai payung hukum terendah pembentukan BKAD. Padahal
Kabupaten Purwakarta telah mengikuti program PNPM MPd sejak Tahun 2001 (d/h
PPK). Dalam PNPM MPd tersebut sangat sarat dengan muatan kerjasama antar desa.
Sebagaimana Surat edaran MENDAGRI No: 414.2/1402/PMD TAHUN 2006; tentang
Pelestarian dan pengembangan hasil-hasil PPK dan perlunya membentuk badan
kerjasama antar desa. Ada beberapa hal yang dirasakan perlu adanya
kerjasama antar desa seperti pelestarian / pemeliharaan sarana/prasarana yang
mempunyai fungsi/manfaat antar desa, perguliran SPP/UEP lintas desa, sanksi
lokal antar desa, dan lain-lain.
Yang
cukup menggetarkan jiwa dan rasa, ternyata BKAD ini menjadi payung hukum bagi
Unit Pengelola Kegiatan (UPK) PNPM MPd. Jadi bagi Pemerintah dan DPRD
Purwakarta tidak punya pilihan lain, kecuali membuat peraturan daerah (perda)
tentang Badan kerjasama antar Desa (BKAD). Sebenarnya produk hukum pemerintahan
daerah bisa bersifat pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Permendargri 16 tahun 2006 meliputi:Peraturan daerah atau sebutan lain;
Peraturan kepala daerah; dan Peraturan bersama kepala daerah.
Dan
Produk hukum daerah yang bersifat penetapan meliputi: Keputusan kepala
daerah; dan Instruksi kepala daerah. Keberadaan BKAD ini bisa menguatkan
kedudukan desa sebagai satu kesatuan masyarakat hukum dalam suatu pola
pengembangan modal social, budaya, ekonomi, politik dan sumber daya. Di
Kabupaten Purwakarta sendiri telah terbentuk BKAD di 16 Kecamatan PNPM MPd,
malahan telah terbentuk pula forum BKAD nya.
Memang
pembentukan perda tentang BKAD ini tidak mudah dilaksanakan, tetapi tidak juga
susah untuk dikerjakan; tinggal komitmen kuat antar pemerintah daerah, DPRD dan
masyarakat. Selama ada keinginan, komitmen atau goodwill kuat, pasti akan
terwujud.
Maka dari itu, masyarakat PNPM MPd yang diwakili oleh forum BKAD sudah
selayaknya berpikir dan berjuang menuju kearah sana. Ada tidaknya
fasilitator/Konsultan (Tim Faskab, FK, dan FT) itu bukan sesuatu hal yang
mutlak, tetapi hanya sebagai fasilitator saja. Pengurus BKAD harus punya
kemampuan, pemahaman, gerakan dan tujuan yang terarah. Sehingga kerjanya tidak
bersifat menunggu tetapi jemput bola, tidak pasif tetapi aktif, dan tidak
menjadi objek tetapi subjek.
Fungsi
dan Peran BKAD dalam kaitannya dengan ke-UPK-an, minimal diantaranya : pertama,
Merumuskan, membahas, menetapkan, rencana strategis untuk pengembangan UPK baik
sebagai lembaga penyalur dan pengelola program, maupun sebagai lembaga mikro
finance; kedua,
Membentuk UPK, TV, TP2 serta lembaga pendukung lain dan mendelegasikan
tugas-tugas pengelolaan; dan ketiga,
Membentuk BP-UPK sebagai wadah pendelegasian tugas pengawasan dan pemeriksaan
kinerja UPK
Memang pembentukan BKAD ini akan berimplikasi pada pembiayaan yang ditanggung
Desa peserta dan Kabupaten. Selama pembiayaannya realistis dan strategis, bukan
latah; pembiayaan itu menjadi konsekwensi logis, tetapi manfaat bagi masyarakat
jauh lebih besar lagi.
Melangkah satu kali dengan kejujuran dan kejuangan, jauh lebih bermakna dari
pada melangkah berjuta kali tetapi latah. Selamat berjuang, masyarakat
menunggu!
0 komentar:
Posting Komentar