Oleh : Dina Dermawan
Tepatnya pada tanggal 5 Oktober 2004
di Jakarta disyahkan UU No 24 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional.
Pemerintahan negara Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan. kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia;
Dimana selanjutnya adalah
menyempurnakan dan menjaga kemerdekaan itu serta mengisinya dengan pembangunan
yang berkeadilan dan demokratis yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan;
Dan untuk menjamin agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efisien, dan
bersasaran maka diperlukan perencanaan pembangunan Nasional.
Sistim
perencanaan pembangunan nasional ini kemudian diturunkan ke sistim perencanaan
propinsi, lalu perencanaan kabupaten dan selanjutnya di tingkat Desa. Khususnya
di tingkat Desa Pemerintah mengeluarkan Permendagri 66 Tahun 2007 tentang
RPJMDes. Yang selanjutnya, Perencanaan pembangunan perdesaan yang partisipatif
ini sepenuhnya didukung oleh masyarakat, pemerintah dan politis.
Namun
pelaksanaannya ditingkat desa masih sangat minim, RPJMDes dipahami sekedar
RKPDes atau RPTD. Jika anda menanyakan ke Desa, mana
RPJMDes?, bisa dipastikan anda
akan dijawab dengan disodori RKPDes yang formatnya sesuai dengan BAPPEDA
setempat, yang sifatnya tahunan. Padahal yang kita ketahui, RPJMDes itu
merupakan kumpulan RKPDes lima tahunan.
Begitu
juga ketika PNPM MPd mendukung dan ikut menguatkan Tupoksi Desa tentang penyusunan
RPJMDes. Namun pada kenyataannya, RPJMDes yang dihasilkan dianggap sebagai
RPJMDes berwajah PNPM. Hal ini juga tidak aneh, karena para pelaku PNPMnya,
dalam memfasilitasinya cukup kental nuansa PNPMnya seperti negatif list.
Sehingga usulan yang masuk dalam RPJMDes sangat minim dan tidak berkualitas.
Dan tidak bisa menjawab atau menggambarkan kebutuhan masyarakat.
Akibatnya,
RPJMDes yang ada tidak dapat memuaskan kebutuhan masyarakat perdesaan. Tidak
aneh, jika anda sering mendengar bahwa Dokumen RPJMDes tidak lebih daripada
sampah; RPJMDes serupa dengan tong bunyinya kosong. Dan lebih parah lagi,
Dokumen RPJMDes tidak pernah dibahas dalam Musrenbangdes atau musrenbangkec. Sehingga
RPJMDes hilang jati dirinya, tidak tahu siapa pemiliknya, siapa penggunanya,
mengapa dibuat, dan apa tujuannya. Padahal RPJMDes yang
kita harapkan menjadi titik temu 3 kebutuhan yaitu kebutuhan masyarakat,
pemerintah dan politis. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah
ini.
RPJMDes menjadi kumpulan usulan/kebutuhan masyarakat yang partisipatif,
sehingga dapat dijual dan dibeli baik oleh masyarakat, pemerintah dan politis.
Tidak seperti sekarang, kalau anda melihat pembangunan yang ada di desa, Insya allah anda akan
menemukan jalan ini jalan aspirasi politis, kalau jalan itu adalah jalan
pemerintah, kalau itu jalan masyarakat. Yang kadang-kadang, jika kita telusuri
asal muasalnya (penggalian gagasan) tidak nyambung ke masyarakat (dibaca
Rakyat), yang nota benenya adalah pemilik utama dan pertama pembangunan masyarakat
Perdesaan.
Kalau kita membaca Good
practices perencanaan
partisipatif dalam PNPM Mandiri Perdesaan. Kita yakin PNPM bisa memperkuat Musrenbangdes & Musrenbang
Kecamatan. Dan Perencanaan partisipatif dalam PNPM Mandiri Perdesaan telah
mendapatkan kekuatan non formal (karena baru dibuat masyarakat tapi blm
dilegalkan oleh politis maupun pemerintah) untuk diterapkan ke dalam pelbagai
program/proyek pembangunan desa.
Maka dari itu,
harus ada kesepakatan tripartit untuk membangun komitmen untuk menjadikan
RPJMDes dipakai oleh masyarakat, pemerintah dan politis. Selanjutnya penataan
ulang prosedur kerja perencanaan partisipatif di dalam sistem pembangunan
reguler (Pemerintah dan Politis) maupun PNPM Mandiri Perdesaan.
Sehingga RPJMDes
menjadi wadah kebutuhan masyarakat yang dibeli pemerintah dan politis.
Selanjutnya RPJMDes menjadi wujud hak rakyat (menjual) dan kewajiban Pemerintah
dan politis (membelinya). Mudah mudahan selanjutnya bisa mengikis money politic
dan korupsi jual beli proyek.
0 komentar:
Posting Komentar